Bali di Persimpangan: Mencari Solusi Overtourism & Dominasi Asing

Media online Detik.com (Jum’at, 7/6/2024) menurunkan berita: “Bali Dijajah Turis Asing, Pengelola Desa Penglipuran: Ayo Duduk Bersama Cari Solusi”.

Muhammad Rahmad

6/8/20243 min read

Muhammad Rahmad
Muhammad Rahmad

Media online Detik.com (Jum’at, 7/6/2024) menurunkan berita: “Bali Dijajah Turis Asing, Pengelola Desa Penglipuran: Ayo Duduk Bersama Cari Solusi”. Bali dinilai mengalami overtourism hingga warga asing dengan visa turis membuka usaha serupa warga lokal.

Fenomena overtourism yang ditandai dengan lonjakan kunjungan wisatawan secara tak terkendali, serta dominasi warga asing dalam sektor ekonomi pariwisata, menjadi dua tantangan besar yang menghadang. Di manakah arah pariwisata Bali akan dibawa melangkah?

Dilema overtourism memang menjadi buah simalakama bagi destinasi-destinasi populer dunia, tak terkecuali Bali. Di satu sisi, meningkatnya jumlah wisatawan membawa berkah bagi industri pariwisata dan ekonomi daerah. Namun di sisi lain, lonjakan pengunjung yang melebihi daya dukung destinasi berpotensi memicu berbagai dampak negatif mulai dari kerusakan lingkungan, kelebihan beban infrastruktur, hingga tergerusnya nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal.

Prof. I Putu Anom, seorang pemerhati pariwisata, menyuarakan keprihatinannya dengan menyebut bahwa Bali sedang dirundung masalah yang kompleks dan multidimensi. Mulai dari aspek industri, perizinan, hingga perilaku wisatawan, semuanya memberikan tekanan bagi sustainabilitas pariwisata Bali. Keresahan ini semakin diperparah dengan realita pahit yang diungkapkan oleh Wanda Ponika, pengusaha perhiasan lokal. Ia menyebut telah terjadi penjajahan ekonomi di Pulau Dewata, di mana pekerjaan-pekerjaan yang sejatinya bisa diisi oleh tenaga kerja lokal kini mulai diambil alih oleh orang asing.

Lantas, strategi apa yang bisa ditempuh untuk menyikapi situasi pelik ini? Menengok berbagai studi kasus di destinasi wisata lain di dunia bisa memberikan inspirasi. Beberapa tempat seperti Machu Picchu (Peru) atau Pulau Boracay (Filipina) pernah menerapkan kebijakan pembatasan jumlah wisatawan untuk tempat tertentu, bahkan sampai penutupan sementara demi memberikan kesempatan bagi kawasan atraksi untuk beristirahat dan memulihkan diri.

Manajemen pola kunjungan wisata juga perlu dibenahi melalui skema penjadwalan, sistem zonasi, atau pengembangan spot-spot wisata alternatif. Dengan demikian, keramaian tidak terkonsentrasi di satu titik saja dan memberi ruang bagi kawasan atraksi untuk tetap lestari. Adapun untuk menyikapi dominasi asing, pemerintah perlu mengambil langkah strategis melalui regulasi yang jelas terkait batasan kepemilikan usaha, prioritas tenaga kerja lokal, serta kewajiban transfer ilmu dan keahlian. Model pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism) juga layak dipertimbangkan untuk menghadirkan pengelolaan destinasi yang lebih adil dan berkelanjutan.

Namun, strategi-strategi tersebut akan sulit terealisasi tanpa adanya sinergi dan kolaborasi yang solid antar seluruh pemangku kepentingan. Di sinilah urgensi keberadaan Organisasi Pengelola Pariwisata sebagai wadah yang menyatukan semua stakeholders menjadi sangat krusial. Dengan berhimpun dalam satu organisasi yang kohesif, para pelaku pariwisata Bali dapat duduk bersama, berdialog, dan mengambil kebijakan secara cepat dan tepat sasaran.

Menurut laporan World Tourism Organization (UNWTO) berjudul "Governance for the Tourism Sector and its Measurement", manajemen pariwisata di suatu negara perlu melibatkan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah. Hal ini karena sektor pariwisata bersifat multidimensi dan bersinggungan dengan banyak aspek seperti ekonomi, infrastruktur, keamanan, lingkungan, budaya, dan sebagainya.

Setidaknya ada 15 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata, baik di tingkat nasional, maupun lokal, yakni; Kementerian Pariwisata yang secara spesifik membidangi pariwisata, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Investasi, Kepolisian, Kementerian Hukum dan HAM, Pemerintah Daerah, Lembaga Adat, Lembaga Pemuda dan Masyarakat, Perusahaan Pariwisata, dan Perguruan Tinggi. Keterlibatan 15 kementerian dan lembaga ini akan efektif dan efisien dalam mengelola pariwisata secara nasional maupun daerah, apabila mereka berhimpun didalam satu organisasi tunggal yang kita sebut Organisasi Pengelola Pariwisata Nasional atau NDMO (National Destination Management Organisation).

Organisasi Pengelola Pariwisata ini akan menjadi garda terdepan dalam menavigasi arah pariwisata di tengah kompleksitas tantangan yang ada, termasuk yang sedang terjadi di Bali. Melalui koordinasi yang erat antara pemerintah, pelaku industri, akademisi, dan masyarakat, organisasi ini dapat merancang strategi komprehensif yang mengedepankan prinsip keberlanjutan, keadilan, dan keberpihakan pada komunitas lokal. Dengan demikian, pariwisata Bali tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga merawat kelestarian lingkungan, menghargai keluhuran budaya, dan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Urgensi keberadaan Organisasi Pengelola Pariwisata ini tidak hanya relevan di tingkat lokal Bali saja, tetapi juga di tingkat nasional. Dengan memiliki badan yang solid dan terkoordinasi di level nasional, Indonesia dapat lebih optimal dalam mengarahkan kebijakan pariwisata secara holistik, termasuk dalam mengantisipasi dampak overtourism dan menyeimbangkan peran pihak asing dalam industri pariwisata tanah air.

Pada akhirnya, kunci untuk menyikapi dilema overtourism dan dominasi asing di Bali terletak pada kolaborasi yang erat antar seluruh stakeholders pariwisata. Dengan tekad yang bulat, komitmen yang kuat, dan langkah yang konkret, kita optimis Bali akan mampu melewati persimpangan ini dan melangkah menuju masa depan pariwisata yang lebih cerah dan berkelanjutan. Organisasi Pengelola Pariwisata, baik di tingkat lokal maupun nasional, akan menjadi kendaraan yang membawa kita menuju visi itu. Inilah saatnya untuk bersinergi, berkolaborasi, dan mengambil tindakan nyata. Demi Bali, demi Indonesia, dan demi masa depan pariwisata yang kita impi-impikan bersama.

*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pariwisata Indonesia / Dosen Pariwisata Institut Pariwisata Trisakti