Mengejar Target 2045: Enam Aspek Krusial Dalam Revisi UU Kepariwisataan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tengah melakukan Uji Sahih Naskah Akademik draf RUU tentang Kepariwisataan.
Muhammad Rahmad
5/29/20243 min read


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tengah melakukan Uji Sahih Naskah Akademik draf RUU tentang Kepariwisataan. Ini adalah Perubahan Kedua yang sedang dilakukan terhadap UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Perubahan UU ini tentu bukan tanpa sebab. Menuju Indonesia Emas 2045, sektor pariwisata diharapkan menjadi salah satu pilar utama perekonomian nasional yang berkelanjutan dan inklusif. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah menetapkan serangkaian target ambisius untuk dicapai dalam kurun waktu 25 tahun ke depan.
Target-target tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari kontribusi ekonomi, jumlah kunjungan wisatawan, daya saing destinasi, hingga pengembangan sumber daya manusia pariwisata. Dalam konteks itulah, UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan ini urgent untuk dilakukan perubahan.
Salah satu target utama adalah meningkatkan kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 8% pada tahun 2045. Angka ini merupakan lonjakan signifikan dibandingkan kontribusi saat ini yang berada di kisaran 4,8%. Sejalan dengan itu, devisa dari sektor pariwisata juga ditargetkan mencapai USD 140 miliar pada tahun 2045, meningkat drastis dari perolehan saat ini sekitar USD 17 miliar.
Dari sisi kunjungan wisatawan, Indonesia juga menargetkan sebanyak 73,6 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2045. Angka ini naik hampir lima kali lipat dibandingkan jumlah kunjungan wisman saat ini di angka 16 juta orang. Sementara itu, perjalanan wisatawan nusantara juga ditargetkan meningkat hingga 1,4 miliar perjalanan pada tahun 2045, dibandingkan sekitar 300 juta perjalanan saat ini.
Untuk mewujudkan target-target tersebut, Indonesia perlu memperkuat daya saing pariwisatanya di kancah global. Pemerintah menargetkan Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan indeks daya saing pariwisata tertinggi di dunia pada tahun 2045. Saat ini, peringkat daya saing pariwisata Indonesia berada di posisi 22 dunia. Peningkatan daya saing ini akan dicapai melalui pengembangan destinasi pariwisata prioritas, penguatan positioning wisata berbasis alam dan budaya, serta peningkatan kualitas infrastruktur dan amenitas pariwisata.
Aspek sumber daya manusia (SDM) juga menjadi fokus penting dalam pengembangan pariwisata menuju Indonesia Emas 2045. Pemerintah menargetkan peningkatan kuantitas dan kualitas SDM pariwisata yang kompeten, profesional, dan berdaya saing global. Pada tahun 2045, ditargetkan 3 juta tenaga kerja yang terserap di sektor pariwisata. Untuk itu, diperlukan upaya sistematis dalam pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi kompetensi SDM pariwisata.
Tidak kalah penting, Pemerintah menargetkan investasi pariwisata sebesar Rp 5.000 triliun hingga tahun 2045, baik dari dalam maupun luar negeri. Investasi ini akan diarahkan untuk pengembangan infrastruktur, amenitas, atraksi wisata, serta adopsi teknologi digital dalam pengelolaan destinasi yang cerdas dan efisien.
Dengan target-target yang komprehensif dan visioner tersebut, maka UU Kepariwisataan yang ada saat ini perlu direvisi. Melalui jasa baik seorang teman, saya dikirimin softcopy draft RUU Perubahan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan itu.
Saya tidak ingin mengomentari dan menilai draft RUU itu. Namun saya ingin menggaris bawahi bahwa untuk mencapai target pariwisata yang diinginkan pemerintah pada 2045 mendatang, setidaknya ada 6 (enam) hal yang perlu dievaluasi dan dibenahi di dalam UU Kepariwisataan kita.
Pertama, aspek krusial yang perlu diperhatikan adalah penyederhanaan regulasi dan birokrasi. Berbagai sektor dan berbagai pemangku kepentingan terlibat didalam industri pariwisata, sehingga diperlukan harmonisasi dan efisiensi dalam pengurusan perizinan, investasi, dan operasional usaha. Penyederhanaan ini akan mendorong iklim investasi yang kondusif dan meningkatkan daya saing destinasi Indonesia di mata internasional.
Kedua, UU Kepariwisataan perlu mendorong terjadinya peningkatan kualitas dan diversifikasi produk wisata sesuai standar internasional. Indonesia memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa, namun belum dioptimalkan secara maksimal. Pengembangan destinasi harus memperhatikan aspek keberlanjutan, konservasi lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Diversifikasi produk wisata juga penting untuk menarik segmen pasar yang lebih luas dan meningkatkan waktu tinggal wisatawan.
Ketiga, UU ini juga perlu memberikan perhatian khusus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) pariwisata. Kualitas layanan dan profesionalitas menjadi faktor penentu kepuasan wisatawan. Diperlukan amanat yang jelas untuk peningkatan kompetensi SDM melalui pendidikan dan pelatihan yang terstandar, serta sertifikasi profesi. Dengan SDM yang unggul, Indonesia akan mampu memberikan pengalaman wisata berkualitas dan bersaing di level internasional.
Keempat, aspek pemasaran pariwisata juga perlu dibenahi dalam UU Kepariwisataan. Strategi promosi yang efektif, inovatif, dan berdaya saing global diperlukan untuk menarik lebih banyak wisatawan mancanegara. Pemanfaatan teknologi digital dan platform media sosial harus dioptimalkan untuk meningkatkan visibilitas dan engagement dengan calon wisatawan. Kolaborasi dengan influencer, media internasional, dan lembaga promosi pariwisata global juga perlu didorong.
Kelima, tata kelola pembangunan kepariwisataan yang transparan, akuntabel, dan sinergis menjadi kunci keberhasilan. UU Kepariwisataan perlu mengamanatkan penguatan koordinasi dan kemitraan antara pemerintah pusat, daerah, industri, dan masyarakat. Sinergi yang baik akan menghasilkan perencanaan yang komprehensif, implementasi yang efektif, dan dampak yang optimal bagi seluruh pemangku kepentingan.
Keenam, jaminan keamanan dan perlindungan wisatawan harus menjadi prioritas. UU Kepariwisataan perlu memberikan payung hukum yang kuat untuk menjamin hak dan keselamatan wisatawan, termasuk aspek asuransi perjalanan, penanganan keluhan, dan penyelesaian perselisihan. Rasa aman dan nyaman akan meningkatkan kepercayaan wisatawan dan mendorong kunjungan berulang.
Perubahan kedua RUU Kepariwisataan yang sedang digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini, diharapkan dapat membenahi benang kusut dan tumpang tindih pengelolaan pariwisata nasional kita. Dengan demikian, pengelolaan pariwisata kita diharapkan makin komprehensif dan implementasinya makin konsisten, UU Kepariwisataan dapat menjadi instrumen strategis dalam mewujudkan Indonesia sebagai destinasi wisata kelas dunia yang berdaya saing, berkelanjutan, dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat. Kolaborasi dan komitmen seluruh pemangku kepentingan menjadi kunci untuk merealisasikan visi tersebut.
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pariwisata Indonesia / Dosen Pariwisata Institut Pariwisata Trisakti
