Penolakan Bantuan Asing Melindungi Pariwisata Indonesia
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk tidak menetapkan banjir Sumatera sebagai bencana nasional dan menolak bantuan asing menuai kritik keras.
Muhammad Rahmad
12/27/20253 min read


Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk tidak menetapkan banjir Sumatera sebagai bencana nasional dan menolak bantuan asing menuai kritik keras. Banyak yang menilai ini sebagai kesombongan nasionalisme yang mengorbankan korban. Namun, dari perspektif disaster diplomacy dan manajemen krisis pariwisata, kebijakan ini memiliki logika strategis yang layak dipahami.
Kedaulatan yang Dijalankan, Bukan Diklaim
Kritikus lupa bahwa dalam sejarah Indonesia, baru dua bencana yang pernah ditetapkan sebagai bencana nasional: Tsunami Aceh 2004 dan COVID-19. Bahkan gempa Yogyakarta 2006 dengan lebih dari 6.000 korban jiwa tidak mendapat status serupa.
Yang lebih penting: pada 2004, meski bantuan internasional mengalir deras, seluruh operasi tetap di bawah koordinasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) pimpinan Indonesia. Kedaulatan tidak diencerkan oleh bantuan asing — kedaulatan dijalankan melalui kemampuan mengelola dan mengintegrasikan bantuan ke dalam kerangka kerja nasional.
Dua dekade kemudian, Indonesia kini berada pada posisi untuk memilih pendekatan yang lebih mandiri sejak awal. Ini bukan arogansi, melainkan buah dari pembangunan kapasitas yang telah berlangsung selama 20 tahun.
Dimensi Pariwisata yang Terlupakan
Ada aspek yang luput dari perdebatan publik: bencana ini terjadi di kawasan yang mencakup Danau Toba — salah satu dari lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas Indonesia. Pemerintah telah menginvestasikan miliaran dolar untuk mengembangkan kawasan ini sebagai alternatif Bali.
Data World Bank menunjukkan pada 2024, sekitar 9,24 juta wisatawan domestik mengunjungi Danau Toba. Proyek Integrated Tourism Development telah menarik lebih dari $870 juta investasi swasta. Bagaimana pemerintah mengelola krisis bencana di Sumatera memiliki implikasi langsung terhadap destination image dan kepercayaan investor.
Penetapan status bencana nasional dan penerimaan bantuan asing skala besar berpotensi menciptakan narasi media internasional yang memposisikan Sumatera — dan dengan demikian Danau Toba — sebagai kawasan "bencana" dan "tidak aman." Dalam industri pariwisata, persepsi adalah segalanya.
Ketahanan sebagai Aset Kompetitif
Kajian akademis terkini tentang tourism crisis management menunjukkan bahwa dalam era pasca-pandemi, destination resilience telah menjadi faktor kompetitif kunci. Wisatawan semakin mempertimbangkan kemampuan destinasi menangani krisis ketika membuat keputusan perjalanan.
Demonstrasi kemampuan mandiri dapat memproyeksikan citra ketangguhan yang memperkuat — bukan melemahkan — positioning Indonesia sebagai destinasi premium. Narasi "Indonesia mampu menangani bencana sendiri" secara paradoksal lebih menguntungkan bagi pariwisata dibanding narasi "Indonesia membutuhkan bantuan dunia."
Bantuan Asing Bukan Tanpa Risiko
Literatur disaster diplomacy telah lama memperingatkan bahwa bantuan kemanusiaan tidak selalu bebas dari motivasi politik. Belt and Road Initiative China, misalnya, menyertakan bantuan bencana sebagai instrumen memperkuat pengaruh di negara-negara berkembang.
Indonesia sebagai negara kepulauan di Ring of Fire menghadapi puluhan bencana setiap tahun. Jika setiap bencana memicu intervensi asing otomatis, ketergantungan akan terinstitusionalisasi. Lebih berbahaya lagi, bantuan tanpa regulasi dapat menciptakan rantai komando paralel yang justru menghambat koordinasi di lapangan.
Perlu dicatat: Indonesia tidak menolak semua bantuan. Bantuan kemanusiaan swasta tetap diterima, namun dijadwalkan agar tidak mendestabilisasi. Ini bukan penolakan solidaritas, melainkan tata kelola yang bertanggung jawab.
Pelajaran dari Aceh
Studi akademis tentang pemulihan pariwisata pasca-tsunami di Aceh menunjukkan bahwa meskipun pariwisata bukan industri tradisional di sana, pengembangan tsunami tourism telah menjadi sektor ekonomi krusial baru. Museum tsunami, monumen, dan situs-situs memorial kini menjadi atraksi yang menarik wisatawan domestik dan internasional.
Yang membuat pemulihan Aceh berhasil bukan semata bantuan asing, melainkan kepemimpinan nasional yang kuat, keterlibatan komunitas lokal, dan integrasi nilai-nilai budaya setempat. Prinsip yang sama dapat diterapkan untuk pemulihan Sumatera kali ini.
Catatan Penutup
Saya tidak berargumen bahwa keputusan Presiden Prabowo tanpa risiko atau tanpa ruang perbaikan. Transparansi dalam pengambilan keputusan perlu ditingkatkan. Komunikasi krisis harus lebih efektif memisahkan kawasan terdampak dari destinasi wisata prioritas. Dan tentu, kebutuhan korban harus tetap menjadi prioritas utama.
Namun, menuduh kebijakan ini semata-mata sebagai "gengsi" atau "arogansi" adalah penyederhanaan berlebihan. Ada pertimbangan strategis tentang kedaulatan, ada kalkulasi tentang destination image, dan ada pembelajaran dari dua dekade membangun kapasitas manajemen bencana.
Mandiri bukan berarti menolak solidaritas dunia. Mandiri berarti memiliki kapasitas untuk memimpin respons sendiri, menerima bantuan secara selektif dan terstruktur, serta menjaga martabat bangsa dalam menghadapi krisis. Dalam konteks pariwisata, mandiri berarti memproyeksikan citra destinasi yang tangguh — aset yang tak ternilai dalam kompetisi global.
Bagi Indonesia yang berambisi menjadi kekuatan pariwisata regional, pelajaran ini bersifat eksistensial. Ketahanan yang dibangun di atas disiplin institusional adalah fondasi bagi industri pariwisata yang berkelanjutan
*) Penulisan adalah Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pariwisata Indonesia / Dosen Pariwisata Institut Pariwisata Trisakti
