PR Besar Mengejar Target Devisa Pariwisata Indonesia 2025

Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk meningkatkan devisa pariwisata menjadi US$ 22,1 miliar (Rp 331,5 triliun) pada tahun 2025.

Muhammad Rahmad

6/23/20245 min read

Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk meningkatkan devisa pariwisata menjadi US$ 22,1 miliar (Rp 331,5 triliun) pada tahun 2025. Target ini naik signifikan dari US$ 14,63 miliar (Rp 219,45 triliun) di tahun 2023. Demikian rilis Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) 2025 yang disampaikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), minggu lalu.

Selintas, target ini mencerminkan bahwa sektor pariwisata sangat berperan sebagai penggerak ekonomi nasional. Hal ini sejalan dengan teori multiplier effect dalam ekonomi pariwisata yang dikemukakan oleh Archer dan Fletcher (1996), bahwa pengeluaran wisatawan dapat menciptakan efek berantai yang menguntungkan berbagai sektor ekonomi lainnya. Meskipun teori ini valid, namun implementasinya di Indonesia belum optimal. Di banyak destinasi wisata kita, kebocoran ekonomi (economic leakage) masih tinggi. Misalnya, di Bali, banyak hotel dan restoran besar dimiliki investor asing, sehingga sebagian besar keuntungan tidak beredar di ekonomi lokal. Contoh lain, OTA (Online Travel Agent) yang melayani penjualan tiket dan voucher hotel di Indonesia, didominasi oleh OTA yang kantor pusatnya berbasis di Singapura, bukan Indonesia. Keuntungan terbesar OTA tersebut juga tidak beredar di Indonesia, tapi di Singapura.

Bagaimanapun, perjalanan menuju pencapaian target pariwisata nasional tahun 2025 tersebut dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satu tantangannya adalah terjadinya gangguan pada Pusat Data Nasional yang berdampak pada layanan visa dan paspor di keimigrasian kita. Kejadian ini menyoroti bagimana pentingnya ketersediaan infrastruktur digital yang handal, sesuai dengan konsep e-tourism yang dikemukakan oleh Buhalis (2003). Buhalis menekankan bahwa teknologi informasi dan komunikasi menjadi tulang punggung operasional industri pariwisata modern, memfasilitasi penciptaan nilai tambah bagi wisatawan dan meningkatkan efisiensi organisasi pariwisata. Gangguan Pusat Data Nasional yang mempengaruhi layanan visa dan paspor menunjukkan kerentanan infrastruktur digital. Layanan inbound dan outbound diseluruh bandara internasional Indonesia juga terganggu yang berimplikasi kepada ketidak-nyamanan wisatawan mancanegara. Wisatawan mancanegara adalah agen pemasaran Indonesia sebagai negara tujuan wisata ke dunia internasional, jika kita membaca teori word-of-mouth marketing dan pengalaman wisatawan dalam konteks pariwisata internasional Philip Kotler, John Urry, dan Dean MacCannell.

Selain itu, tantangan infrastruktur fisik, konektivitas antar wilayah, serta isu keamanan dan kebersihan, masih banyak dijumpai diberbagai destinasi wisata nasional. Padahal, hal tersebut adalah sebagai syarat utama mewujudkan destinasi yang kompetitif. Ritchie dan Crouch (2003) dalam teori pengelolaan destinasi kompetitif mengungkap bahwa jumlah kunjungan sangat ditentukan oleh destinasi yang kompetitif. Mereka juga mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang mempengaruhi daya saing destinasi, termasuk manajemen destinasi, kebijakan, perencanaan dan pengembangan destinasi, serta faktor penentu yang memperkuat atau melemahkan daya saing seperti isu keamanan dan ketertiban. Indonesia memiliki sumber daya alam dan budaya yang kaya, namun masih lemah dalam aspek infrastruktur pendukung, manajemen destinasi, dan kebijakan yang konsisten. Misalnya, masalah transportasi, kebersihan, toilet dan pengelolaan sampah masih menjadi isu di banyak destinasi wisata populer kita.

Oleh karena itu, untuk mencapai target devisa pariwisata 2025, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan holistik yang mencakup beberapa strategi kunci.

Pertama, penguatan infrastruktur digital harus menjadi prioritas utama. Ini sejalan dengan konsep smart tourism destinations yang diperkenalkan oleh Gretzel et al. (2015), yang menekankan pentingnya integrasi teknologi informasi dan komunikasi ke dalam infrastruktur fisik untuk meningkatkan pengalaman wisatawan dan efisiensi manajemen destinasi. Tingkat layanan Bandara Indonesia masih kalah bersaing saat ini dibanding Singapura, Malaysia, dan Thailand. Layanan clearance bandara internasional Singapura, 20-27 Menit, dan memperoleh skor skytrack 5 bintang. Bandara internasional Singapura juga didapuk jadi Bandara Terbaik Dunia 2024. Sedangkan layanan clearance di bandara internasional Malaysia memakan waktu 40-75 menit dan di Thailand 35-60 menit. Bandara internasional Malaysia dan Thailand sama sama memperoleh skor skytrack 4 bintang. Di Bandara internasional Indonesia (Soekarno Hatta), layanan clearance internasional nya 45-90 menit dan skor skytrack pengelolaan bandaranya baru 3 bintang.

Kedua, diversifikasi dan pengembangan destinasi wisata perlu dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan. Konsep ini, sebagaimana dijelaskan oleh Weaver (2006), menekankan pentingnya keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan dalam pengembangan pariwisata. Pengembangan "hidden gems" wisata Indonesia harus memperhatikan daya dukung lingkungan dan melibatkan masyarakat lokal dalam prosesnya. Meskipun ada kesadaran akan pentingnya keberlanjutan, praktiknya masih jauh dari ideal. Kasus overtourism di Bali dan kerusakan lingkungan di beberapa destinasi populer menunjukkan bahwa keseimbangan antara ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan belum tercapai.

Ketiga, peningkatan kualitas SDM di sektor pariwisata menjadi krusial. Teori human capital dalam konteks pariwisata, sebagaimana dibahas oleh Baum (2015), menekankan bahwa investasi dalam pendidikan dan pelatihan SDM pariwisata adalah kunci untuk meningkatkan kualitas layanan dan daya saing destinasi. Program-program pelatihan yang komprehensif dan berkelanjutan perlu dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi pekerja di sektor pariwisata. Kualitas SDM pariwisata Indonesia masih perlu ditingkatkan. Kesenjangan keterampilan masih terlihat, terutama dalam hal kemampuan bahasa asing, pelayanan prima, dan pemahaman standar internasional.

Keempat, strategi pemasaran digital perlu dioptimalkan dengan memanfaatkan big data dan artificial intelligence. Konsep destination marketing dalam era digital, sebagaimana dijelaskan oleh Pike dan Page (2014), menekankan pentingnya pendekatan yang terintegrasi dan berbasis data dalam memasarkan destinasi wisata. Penggunaan teknologi seperti machine learning untuk analisis sentimen wisatawan dan personalisasi pengalaman dapat meningkatkan efektivitas strategi pemasaran. Pemasaran digital Indonesia sudah mulai berkembang, namun masih belum sepenuhnya memanfaatkan potensi big data dan AI. Kampanye "Wonderful Indonesia" cukup dikenal, tapi strategi pemasaran yang lebih terpersonalisasi dan berbasis data masih terbatas.

Kelima, inovasi produk wisata menjadi penting untuk menarik segmen pasar yang lebih beragam. Teori experience economy yang dikemukakan oleh Pine dan Gilmore (1998) menekankan bahwa wisatawan modern mencari pengalaman yang unik dan berkesan. Pengembangan produk wisata seperti wellness tourism, ekowisata, dan wisata budaya immersive dapat menjawab kebutuhan ini. Beberapa destinasi di Indonesia sudah mulai fokus pada pengalaman unik, seperti desa wisata dan ekowisata. Namun, aksesibilitas ke destinasi masih perlu dibenahi dan masih banyak destinasi lain yang terjebak dalam pariwisata massal dan kurang menawarkan pengalaman mendalam.

Keenam, kolaborasi lintas sektor dan penanganan krisis yang efektif menjadi faktor penentu keberhasilan. Pendekatan collaborative governance dalam pariwisata, sebagaimana dijelaskan oleh Ansell dan Gash (2008), menekankan pentingnya kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam mengelola destinasi wisata. Sementara itu, teori manajemen krisis dalam pariwisata yang dikembangkan oleh Ritchie (2004) menekankan pentingnya kesiapsiagaan dan respon yang terencana dalam menghadapi berbagai jenis krisis yang dapat mempengaruhi industri pariwisata. Koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pariwisata Indonesia masih sering terhambat ego sektoral dan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Ketujuh aspek keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas. Konsep carrying capacity dalam pariwisata, sebagaimana dijelaskan oleh Butler (1999), menekankan pentingnya mempertimbangkan batas kemampuan suatu destinasi dalam menerima wisatawan tanpa merusak lingkungan dan budaya setempat. Implementasi praktik pariwisata ramah lingkungan dan pengembangan ekowisata dapat membantu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Banyak destinasi wisata Indonesia belum menerapkan konsep daya dukung dengan baik. Kasus overtourism di beberapa tempat menunjukkan bahwa pertimbangan kapasitas sering diabaikan demi keuntungan jangka pendek.

Pencapaian target devisa pariwisata 2025 membutuhkan implementasi yang konsisten dari strategi-strategi tersebut. Meskipun tantangan yang dihadapi cukup besar, dengan pendekatan yang tepat dan berbasis teori, Indonesia memiliki potensi besar untuk mewujudkan ambisinya sebagai destinasi wisata kelas dunia. Keberhasilan dalam mencapai target ini tidak hanya akan meningkatkan pemasukan devisa, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memperkuat posisi Indonesia di kancah pariwisata global.***

Daftar Pusaka

Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543-571.

Archer, B., & Fletcher, J. (1996). The economic impact of tourism in the Seychelles. Annals of Tourism Research, 23(1), 32-47.

Baum, T. (2015). Human resources in tourism: Still waiting for change? - A 2015 reprise. Tourism Management, 50, 204-212.

Buhalis, D. (2003). eTourism: Information technology for strategic tourism management. Pearson Education.

Butler, R. W. (1999). Sustainable tourism: A state‐of‐the‐art review. Tourism Geographies, 1(1), 7-25.

Gretzel, U., Sigala, M., Xiang, Z., & Koo, C. (2015). Smart tourism: foundations and developments. Electronic Markets, 25(3), 179-188.

Kotler, P., Bowen, J. T., & Makens, J. C. (2014). Marketing for Hospitality and Tourism (6th ed.). Pearson Education Limited.

Litvin, S. W., Goldsmith, R. E., & Pan, B. (2008). Electronic word-of-mouth in hospitality and tourism management. Tourism Management, 29(3), 458-468.

MacCannell, D. (1999). The Tourist: A New Theory of the Leisure Class. University of California Press.

Pike, S., & Page, S. J. (2014). Destination Marketing Organizations and destination marketing: A narrative analysis of the literature. Tourism Management, 41, 202-227.

Pine, B. J., & Gilmore, J. H. (1998). Welcome to the experience economy. Harvard Business Review, 76, 97-105.

Ritchie, B. W. (2004). Chaos, crises, and disasters: a strategic approach to crisis management in the tourism industry. Tourism Management, 25(6), 669-683.

Ritchie, J. R. B., & Crouch, G. I. (2003). The competitive destination: A sustainable tourism perspective. CABI Publishing.

Urry, J. (2002). The Tourist Gaze (2nd ed.). SAGE Publications.

Weaver, D. B. (2006). Sustainable tourism: Theory and practice. Elsevier Butterworth-Heinemann.

Zhang, H., Fu, X., Cai, L. A., & Lu, L. (2014). Destination image and tourist loyalty: A meta-analysis. Tourism Management, 40, 213-223.