Tragedi Labuan Bajo dan Birokrasi Kusut Pariwisata Indonesia
Jumat malam, 26 Desember 2025. Kapal wisata KM Putri Sakinah tenggelam di perairan Selat Pulau Padar, Taman Nasional Komodo. Kapal yang membawa 11 orang itu mengalami mati...
Muhammad Rahmad*
12/30/20253 min read


(Jakarta) Jumat malam, 26 Desember 2025. Kapal wisata KM Putri Sakinah tenggelam di perairan Selat Pulau Padar, Taman Nasional Komodo. Kapal yang membawa 11 orang itu mengalami mati mesin, tak berdaya menghadapi hantaman gelombang setinggi 2-3 meter. Fernando Martín Carreras, pelatih tim putri Valencia CF asal Spanyol, bersama tiga anaknya menjadi korban. Mereka terjebak di kabin lambung kapal saat tragedi terjadi. Sementara sang istri dan putri bungsunya selamat bersama tujuh orang lainnya.
Respons pemerintah datang dengan cepat. Menteri Sekretaris Negara menyatakan pemerintah memantau intensif dan meminta percepatan penanganan. Kementerian Pariwisata mengirim Staf Ahli Menteri ke lokasi. Kemenhub mengerahkan empat kapal dan 23 personel. Basarnas mengoperasikan pencarian selama tujuh hari. KSOP Labuan Bajo menutup pelayaran ke Pulau Komodo dan Padar hingga 1 Januari 2026. Semua bergerak. Semua responsif.
Tapi kita sudah terlalu sering menyaksikan pola ini. Gerak cepat selalu hadir—setelah tragedi terjadi. Data bicara: sepanjang 2024 hingga akhir Desember 2025, tercatat setidaknya 15 insiden kecelakaan kapal wisata di perairan Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo. Pada 2024 saja terjadi lebih dari 8 insiden besar. Hingga pertengahan 2024, sudah 7 kapal tenggelam. Tahun 2025, Kepolisian Manggarai Barat mencatat 5 kejadian hanya dalam periode Januari hingga Juli. Angka-angka ini bukan statistik dingin. Ini adalah jejak kegagalan kolektif yang berulang.
Pengamat maritim Marcellus Hakeng Jayawibawa menyatakan dengan tepat: kecelakaan yang berulang tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia bukan sekadar hasil cuaca buruk atau kelalaian individu, melainkan cermin dari sistem yang belum tuntas dibangun. Kegagalan teknis, menurutnya, hampir selalu bersifat akumulatif—lahir dari perawatan yang ditunda, inspeksi yang longgar, dan pengawasan yang lebih bersifat seremonial ketimbang substantif.
Di sinilah kita perlu bicara tentang akar masalah yang jarang disentuh: fragmentasi kewenangan dalam birokrasi pariwisata Indonesia. Lihat bagaimana kusutnya tata kelola wisata bahari. Aspek pariwisata ditangani Kemenpar dan Dinas Pariwisata daerah. Aspek transportasi laut—termasuk kelaiklautan kapal, sertifikasi awak, penerbitan Surat Persetujuan Berlayar—berada di tangan Kemenhub melalui KSOP. Aspek lingkungan dikelola KLHK dan Balai Taman Nasional. Aspek keamanan oleh Polri. Informasi cuaca dari BMKG. Masing-masing institusi memiliki kewenangan sendiri, bergerak dalam lorong birokrasinya sendiri.
Tidak ada satu institusi pun yang memiliki tanggung jawab end-to-end atas keseluruhan rantai nilai wisata bahari—dari promosi destinasi hingga keselamatan wisatawan di atas kapal. Kemenpar gencar mempromosikan Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas, tapi tidak memiliki kewenangan teknis mengawasi kelayakan kapal yang membawa wisatawan.
Kemenhub melalui KSOP berwenang menerbitkan izin berlayar dan mengawasi kondisi kapal, tapi tidak punya insentif langsung terhadap target kunjungan wisatawan. Pemda bisa menerbitkan izin usaha wisata bahari, tapi pengawasan teknis perkapalan tetap di tangan pusat.
Sistem otonomi daerah menambah kompleksitas. Berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pariwisata adalah urusan konkuren yang bisa dibagi antara pusat dan daerah. Tapi pelayaran dan keselamatan laut adalah urusan yang tidak diserahkan ke daerah. Hasilnya? Asimetri kewenangan. Daerah bisa gencar mempromosikan wisata bahari, tapi tidak bisa mengawasi keselamatan kapalnya. Yang terjadi kemudian adalah saling lempar tanggung jawab ketika tragedi menghampiri.
Masalah ini bukan hanya soal wisata bahari. Ia adalah potret tata kelola pariwisata Indonesia secara keseluruhan. Wisata petualangan gunung—siapa yang mengawasi standar keselamatan pendakian komersial? Wisata kesehatan—bagaimana koordinasi antara Kemenkes dan Kemenpar? Wisata religi seperti umrah dan haji—berapa banyak kementerian dan lembaga yang terlibat tanpa koordinasi yang jelas? Di setiap ceruk pariwisata, kita menemukan pola yang sama: fragmentasi kewenangan, tumpang tindih regulasi, dan absennya akuntabilitas yang jelas.
Sudah saatnya Indonesia membenahi birokrasi kusut ini dengan solusi yang menyentuh akar masalah: memberikan kewenangan end-to-end kepada lembaga pengelola pariwisata nasional. Bukan sekadar koordinasi yang sifatnya seremonial, tapi kewenangan substantif yang memungkinkan satu institusi bertanggung jawab penuh atas keseluruhan rantai nilai pariwisata—dari perencanaan, promosi, standarisasi, pengawasan, hingga keselamatan wisatawan.
Model ini bukan utopia. Banyak negara dengan industri pariwisata maju menerapkan pendekatan serupa. UN Tourism melalui inisiatif SAFE-D (Safety of Destinations) merekomendasikan penyelarasan kerangka nasional dengan praktik terbaik internasional, penguatan kolaborasi antara otoritas lokal, penegak hukum, dan sektor pariwisata, serta pengembangan sistem peringatan dini yang terintegrasi. Standar ISO 21101 untuk pariwisata petualangan dan GSTC Destination Standard menyediakan kerangka yang bisa diadopsi.
Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk melakukan reformasi struktural. Membentuk atau memperkuat lembaga pariwisata nasional dengan kewenangan yang memadai—bukan sekadar badan koordinasi tanpa taring. Memastikan bahwa sebelum izin usaha wisata diterbitkan, semua aspek keselamatan sudah terverifikasi dalam satu pintu. Mengintegrasikan sistem perizinan, pengawasan, dan penegakan hukum dalam satu rantai komando yang jelas.
Fernando Martín Carreras dan ketiga anaknya datang ke Indonesia untuk berlibur, menikmati keindahan Taman Nasional Komodo yang kita banggakan. Mereka pulang dalam peti. Ini bukan hanya tragedi keluarga. Ini adalah luka reputasional bagi bangsa. Sebab, seperti kata Hakeng, negara tidak lagi dinilai dari brosur pariwisatanya, melainkan dari kemampuannya melindungi setiap manusia yang berada dalam wilayah tanggung jawabnya.
Gerak cepat setelah tragedi memang penting. Tapi yang lebih penting adalah mencegah tragedi itu terjadi. Dan itu hanya bisa dimulai dengan membereskan birokrasi kusut yang selama ini kita biarkan.
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pariwisata Indonesia / Dosen Pariwisata Institut Pariwisata Trisakti.
